KOMIK, karikatur dan Kartun (selanjutnya disebut K-3) merupakan  salah satu bentuk imajinasi yang diaktualisasikan dalam rangka gambar.  Proses pembuatan dari ketiganya secara sederhana: berupa bentuk khayalan  baik itu mengenai manusia itu sendiri, hewan, tumbuhan, alam ataupun  hal yang tidak terjangkau oleh akal seperti mahluk luar angkasa ataupun  gaib sekalipun yang dimediasikan lewat tangan, pulpen/patlot, kertas,  cat gambar–walaupun sekarang semuanya bisa dikerjakan langsung lewat  media komputerisasi sehingga terbentuk sebuah coretan dalam rangka  gambar. Dengan segala atributnya, ketiga bentuk rangka itu menjadikan K-3  sebagai sebuah seni sastra yang paling ‘unik’ dan sejenis dibanding  dengan seni sastra lain seperti lukisan, patung, drama dan berbagai  jenis tulisan: novel, cerpen, puisi dsb.
Mengapa penulis memasukan ketiganya dalam bentuk katagori seni  sastra, karena kriteria karya sastra meminjam Goldman (1981:55-74) dalam  salah satu esainya, merupakan salah satu bentuk  ekspresi pandangan dunia (apapun itu bentuk medianya) secara imajiner  dan dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang bisa  menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi secara bebas.  Dengan begitu bisa disebutkan bahwa K-3 merupakan salah satu genre seni  sastra yang termodifikasikan lewat gambar, melalui bahasa non-verbal.  Dan mereka para animator adalah penciptanya. Dia menuangkan ide-ide  segarnya secara bebas, menarik, tentang sesuatu yang belum ada  (cita-cita), kontradiktif, misterius, kadang serius dan sekaligus  menggelitik tentang hal-hal yang ada di luar dugaan manusia saat itu.
Kadang karenanya (terutama dalam kartun) berbagai discovery bisa  diwujudkan—-sekadar contoh, sekarang ini telah berhasil dibuat cairan  plasma yang bisa merekat seperti digunakan Spiderman dalam kartunnya,  serta berbagai macam alat teknologi seperti dalam film-film kartun yang  bernuansa futuristik, di mana itu sekarang sedang diwujudkan.
Bukan itu saja, nilai-nilai tradisi dan budaya yang selama ini tidak  dirasa cocok dan mengakar kuat dalam suatu masyarakat (seperti yang  tergambar dalam komik ataupun kartun Jepang secara mayoritas), bisa  disebutkan sebagai icon dari adanya caunter dalam bentuk gambar itu,  terhadap kehidupan budaya yang dijalani. Serta gambar-gambar (coretan  tangan) koran ataupun majalah yang sering terlihat dalam bentuk  karikatur-karikatur lucu sekaligus kritis (biasanya di halalam atas  opini-koran), menandakan masih perlunya eksistensi dari gambar moral  ataupun politik terhadap kehidupan realitas yang begitu lemah dan tidak  layak kita tiru. Secara keseluruhan, nilai-nilai itulah yang kiranya  apabila ditafsirkan akan terus melekat pada setiap komik, karikatur dan  kartun di Indonesia dewasa ini.
Namun terlepas dari itu, muncul pertanyaan besar apakah ketiganya  mesti memiliki pesan? tentu saja tidak. Kadang K-3 tidak perlu dimaknai  apa-apa: sebagai bentuk kreativitas, keterampilan, kesenangan dan luapan  hati serta tanpa ‘rekayasa’ sang animator. K-3 pula hadir begitu saja  dibenak para animator untuk diperlihatkan; tanpa dikaitkan dengan  masalah teknologi, sosial, politik ataupun budaya–walaupun dibalik  ceritanya pasti menggunakan aspek-aspek tadi.
Karena K-3 pertamanya diidentikkan cuma sebatas sebagai sebuah  hiburan bagi si Upik. Ataupun cuma wujud kreativitas seseorang untuk  memperlihatkan gerak hidup manusia, hewan, tumbuhan yang tergabung dalam  alam jagad bumi ini dan Tuhan pada sebuah bentuk imaji: gambar.
Walaupun dalam perkembangannya, memang terasa arah perubahan tujuan  dalam pembuatannya, yaitu komsumerisme. Bagaimana perkembangan arus  media sekarang yang menyediakan ketiga bentuk gambar itu untuk bersaing  dipublikasikan–bukan semata hasil bentuk hiburan diruang yang kosong  belaka. Kadang sebagai tindak lanjutnya, bisa diwujudkan dalam bentuk  aslinya: seperti mainan-mainan yang sekarang menggejala dikalangan  anak-anak. Sebut saja kepanjangan tangan dari itu seperti maraknya  film-film kartun Jepang yang mendominasi Indonesia: Bayblade dengan  menghasilkan mainan gasingnya, Lets and Go dengan mobil mainan  Tamiyanya, Crush Gear dengan mobil tarungnya ataupun sejenis mainan  lainnya seperti boneka Pooh dari hasil film Winne and Pooh yang dahulu  berhasil mendobrak market mainan dunia dengan mudahnya. Semua itu bisa  disebut sebagai mediasi sosialisasi produk dengan menggunakan media  kartun sebagai ‘nabi’nya.
Perkembangan Komik, Karikatur, Kartun di Indonesia 
Sekedar mengantarkan sebuah peta ke hadapan pembaca, penulis melihat  bahwa sebenarnya ‘bisnis’ gambar seperti yang diwadahi dalam tiga media  di atas untuk di Indonesia sebenarnya tidak atau belum mengalami  perkembangan yang cukup serius.
Dimulai dari Komik, sebenarnya tahun 60-an perkomikan di Indonesia  pertamanya cukup menjanjkan. Ini terbukti dari hasil yang dibuat oleh  komikus Indonesia, seperti oleh Ganes TH dengan “Si Buta dari Gua  Hantunya”, Indri Sudono dangan “Petruk dan garengnya”, Jan Mintaraga  dengan komik “percintaannya”, RA Kosasih dengan “Mahabrata dan  Bharatayudhanya”, Wid NS dengan “Godam dan karakter wajah Indonesianya”,  Djair dengan “Kutukan Sangkuriangnya” N.Mintardjar dengan “Naga Sastra  dan Sabuk Intennya”, Herman Phatirto dengan “Bende Mataram” dll.  merupakan sejumlah komikus perintis Indonesia yang patut dibangggakan  hasilnya.
Isi ataupun kualitas cerita dan penyajian dari beberapa komik di atas  tidak lah kalah dengan perkomikan dari luar saat ini. Namun karena  perkembangan media sekarang ini, baik dari segi penyajian yang menggukan  alat komputer, perkomikan Indonesia akhirnya tidak bisa menyaingi  derasnya perkembangan zaman. Paling yang sekarang masih bertahan hanya  beberapa perkomikan saja di Indonesia. Sebut saja “Legenda Sawung  Kampret dan Panji Komeng” yang digawean oleh Dwi Koen, merupakan salah  satu komik berkualitas terakhir–bisa dibilang begitu–di Indonesia saat  ini. Komik tersebut menurut penulis tergolong serius apabila  dibandingkan dengan komik lain (baca komik santai). Majalah Kumkom  sebagai sarana sekaligus media komikus dalam negeri yang turut berkiprah  menampilkan hasil karyanya merupakan salah satu media terbatas bagi  karya-karya komik yang tidak mendapat ruang serius. Dengan munculnya  berbagai media komik tersebut diharapkan bisa mewakili terus terpaan  angin komikus dalam negri dari luar seperti Jepang. 
Berbeda lagi dengan dunia Karikatur, perkembanganya di Indonesia bisa  disebut bertimbal balik dengan situasi Komik saat ini. Walaupun  kehadiran dunia Karikatur tidak begitu muncul dalam popularitas suatu  roduk karya astra, namun dilihat dari segi kuantitas dan kualitas  peminat dari Karikatur terutama di setiap Koran sangatlah besar.
G.M. Sudarta sebagai kartunis sekaligus karikaturis di suratkabar Kompas  dengan “Oom Pasikomnya” merupakan salah seorang yang sampai sekarang  ini masih kuat dengan gambar yang sarat oleh pesan, kritik, estetika dan  kadar humornya. Dengan karakter tersebut Sudarta lebih familiar  menyebut karikatur dengan sebuah doformasi berlebihan atas wajah  seseorang, biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” melalui  penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek (Prisma, No.5,  1981: 49-53).
Namun sebagai sebuah karikatur, dalam pandangan Sudarta tidak selalu  harus hadir dalam bentuk pesan atau kritik, apalagi dalam rangka yang  berlebihan. Kalaupun ada, ia menamakannya dengan katagori editorial  cartoon yang biasa disebutnya tajuk rencana dalam versi gambar humor.  Ini bisa terlihat, menurutnya di tahun 1960-an karikatur T.Sutanto yang  terbit di mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung dan di zaman Orba  seperti hasil kartunis-kartunis besar (Sanento, Pramono, Priyanto, Tony  Tantra, thomas Leonar, Dwi Koendoro, Yuliman, Mariadi S, Keulman, dll.)  pernah juga menjadi sorotan: sebagai salah satu kritikan tajam dengan  “membunuh” ’ala senyuman. Jangan dikira perbuatan tersebut tidak  menyebabkan hal apa-apa bagi sipembuat karikatur. Tidak lama kita telah  dikejutkan dengan penangkapan seorang Pemred Harian Rakyat Merdeka,  hanya akibat membuat sebuah karikatur telanjangnya seorang pejabat  (Akbar Tanjung) yang dipandang hal tersebut mencemarkan nama baik  seseorang. 
Oleh sebab itu, seringkali Sudarta memandang bahwa dalam pembuatan  karikatur tersebut sang karikaturis jangan terlalu berlebihan yang  akhirnya kurang kena sasaran. Sehingga dalam tampilannya bisa mmbuat  orang, khususnya yang dikritik dalam gambar merasa terhina ataupun  menaruh curiga yang berlebihan.
Etika (baca:kode etik) dalam melakukan kritikan, menurutnya  diperlukan pada saat itu agar misi yang dilontarkan sampai dengan  selamat dan sejahtra.
Seperti apa yang dalam perkembangannya, karikatur tersebut  diperbaharui dengan gaya yang lebih bervariasi. “Doyok” contohnya tokoh  yang dipakai Keliek Siswoyo, merupakan salah satu bentuk karikatur  berjenis komik singkat (dalam satu strip atau panel) yang memiliki ciri  khas tersendiri dibanding karikatur produk lama. Doyok ini hadir di  harian Pos Kota, dalam kolom khusus “Lembergar” (Lembaran bergambar  Untuk Keluarga) yang meraih ratingnya mencapai tiras tertinggi mencapai  74,9 persen pembaca (Bentara, Kompas 1/11/2002).
Bayangkan, dari sebagian banyak lembaran yang ada di Pos Kota,  sebagai harian surat kabar yang bisa mencapai 500.000-600.000 eksemplar  pembaca tiap harinya, sebagian besar tertuju pada kolom karikatur buatan  Siswoyo ini.
Berbeda dengan Oom Pasikomnya G.M Sudarta, Karikatur Doyok buatan  Siswoyo lebih bersipat dialogis yang mengambil setting kebudayaan  masyarakat kampung. Dengan gayanya yang khas itu, dia melihat persepsi  masyarakat bawah tentang berbagai problema, termasuk masalah politik di  Indonesia ini. Dengan begitu ia bisa menetralisir apa yang diharapkan  Sudarta dengan kritikan yang tepat guna.
Berbeda lagi dengan komik ataupun karikatur seperti yang dijelakan di  atas, Kartun adalah persoalan baru bagi perindustrian film animasi di  Indonesia. Perkembangan dunia teknologi informasi, membuat produksi  Kartun di Indonesia ‘lesu’ total dibanding dengan negara lain, Jepang  contohnya. Berjamurannya film kartun ‘asing’ di Indonesia bisa dilihat  di TV-TV ataupun dalam bentuk VCD. Penayangannya pun memiliki jadwal  tetap (seperti minggu sebagai hari libur keluarga). Sebut saja film Slam  Dunk, Lats and Go, Doraemon, Sinchan, Dragon Ball, Inuyasa, Bayblade,  Ditektif Conan, dll. merupakan sejumlah kartun Jepan yang mendominasi  film animasi di Indonesia di berbagai stasion telivisi. Ini bisa  dimengerti karena dengan keterbatasan keterampilan kartunis Indonesia  masih pada relatif sederhana.
Ini bisa terlihat bahwa baru pada tahap tema-tema film kartun  Indonesia yang baru bisa muncul, seperti dalam cerita-cerita rakyat  ataupun legenda masyarakat Indonesia: Sangkuriang, Ketimun Mas, dll. Itu  pun belum di dalam pembuatanya masih tetap memerlukan kepandaian edting  pihak asing.
Kartun-kartun itu biasanya diangkat dari sketsa Karikatur ataupun  Komik yang ditindaklanjuti pada bentuk animasi. Apalagi untuk sekarang,  sesuai dengan perkembangan dunia komputerisasi, bentuk animasi kartun  semakin komplek yaitu berupa tiga demensi: bentuk khayalan (dari hasil  coretan) sekaligus terlihat nyata yang bisa tergabung dalam ruang  dimensi manusia.
Tentu saja perkembangan teknologi itu sulit dijangkau pembiayaannya,  selain mengadakan kerjasama dalam pembuatannya. Contohnya film animasi  buatan Indonesia yang baru dirilis “Janus: Prajurit Terakhir”.  Terinspirasi seperti dari film sejenisnya: Toy Story dan Bag’s Life,  film Janus yang disutradarai oleh Chandra Endroputro ini diharapkan bisa  menembus dunia kartun, hal ini dalam bentuk animasi di Indonesia.  Dengan begitu tuntutan akan ide-ide pembuatan Kartun bisa terus  dilakukan, walaupun dalam pembuatanya masih membutuhkan tangan-tangan  luar.





1 comments:
Obat Sakit Ligamen Lutut
Obat Pendarahan Pasca Kuret
Obat Infeksi Usus Anak
Posting Komentar