Animated Dragonica Star Glove Pointer

Rabu, 09 Mei 2012

komik, karikatur dan kartun

KOMIK, karikatur dan Kartun (selanjutnya disebut K-3) merupakan salah satu bentuk imajinasi yang diaktualisasikan dalam rangka gambar. Proses pembuatan dari ketiganya secara sederhana: berupa bentuk khayalan baik itu mengenai manusia itu sendiri, hewan, tumbuhan, alam ataupun hal yang tidak terjangkau oleh akal seperti mahluk luar angkasa ataupun gaib sekalipun yang dimediasikan lewat tangan, pulpen/patlot, kertas, cat gambar–walaupun sekarang semuanya bisa dikerjakan langsung lewat media komputerisasi sehingga terbentuk sebuah coretan dalam rangka gambar. Dengan segala atributnya, ketiga bentuk rangka itu menjadikan K-3 sebagai sebuah seni sastra yang paling ‘unik’ dan sejenis dibanding dengan seni sastra lain seperti lukisan, patung, drama dan berbagai jenis tulisan: novel, cerpen, puisi dsb.
Mengapa penulis memasukan ketiganya dalam bentuk katagori seni sastra, karena kriteria karya sastra meminjam Goldman (1981:55-74) dalam salah satu esainya, merupakan salah satu bentuk ekspresi pandangan dunia (apapun itu bentuk medianya) secara imajiner dan dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang bisa menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi secara bebas. Dengan begitu bisa disebutkan bahwa K-3 merupakan salah satu genre seni sastra yang termodifikasikan lewat gambar, melalui bahasa non-verbal. Dan mereka para animator adalah penciptanya. Dia menuangkan ide-ide segarnya secara bebas, menarik, tentang sesuatu yang belum ada (cita-cita), kontradiktif, misterius, kadang serius dan sekaligus menggelitik tentang hal-hal yang ada di luar dugaan manusia saat itu.
Kadang karenanya (terutama dalam kartun) berbagai discovery bisa diwujudkan—-sekadar contoh, sekarang ini telah berhasil dibuat cairan plasma yang bisa merekat seperti digunakan Spiderman dalam kartunnya, serta berbagai macam alat teknologi seperti dalam film-film kartun yang bernuansa futuristik, di mana itu sekarang sedang diwujudkan.
Bukan itu saja, nilai-nilai tradisi dan budaya yang selama ini tidak dirasa cocok dan mengakar kuat dalam suatu masyarakat (seperti yang tergambar dalam komik ataupun kartun Jepang secara mayoritas), bisa disebutkan sebagai icon dari adanya caunter dalam bentuk gambar itu, terhadap kehidupan budaya yang dijalani. Serta gambar-gambar (coretan tangan) koran ataupun majalah yang sering terlihat dalam bentuk karikatur-karikatur lucu sekaligus kritis (biasanya di halalam atas opini-koran), menandakan masih perlunya eksistensi dari gambar moral ataupun politik terhadap kehidupan realitas yang begitu lemah dan tidak layak kita tiru. Secara keseluruhan, nilai-nilai itulah yang kiranya apabila ditafsirkan akan terus melekat pada setiap komik, karikatur dan kartun di Indonesia dewasa ini.
Namun terlepas dari itu, muncul pertanyaan besar apakah ketiganya mesti memiliki pesan? tentu saja tidak. Kadang K-3 tidak perlu dimaknai apa-apa: sebagai bentuk kreativitas, keterampilan, kesenangan dan luapan hati serta tanpa ‘rekayasa’ sang animator. K-3 pula hadir begitu saja dibenak para animator untuk diperlihatkan; tanpa dikaitkan dengan masalah teknologi, sosial, politik ataupun budaya–walaupun dibalik ceritanya pasti menggunakan aspek-aspek tadi.
Karena K-3 pertamanya diidentikkan cuma sebatas sebagai sebuah hiburan bagi si Upik. Ataupun cuma wujud kreativitas seseorang untuk memperlihatkan gerak hidup manusia, hewan, tumbuhan yang tergabung dalam alam jagad bumi ini dan Tuhan pada sebuah bentuk imaji: gambar.
Walaupun dalam perkembangannya, memang terasa arah perubahan tujuan dalam pembuatannya, yaitu komsumerisme. Bagaimana perkembangan arus media sekarang yang menyediakan ketiga bentuk gambar itu untuk bersaing dipublikasikan–bukan semata hasil bentuk hiburan diruang yang kosong belaka. Kadang sebagai tindak lanjutnya, bisa diwujudkan dalam bentuk aslinya: seperti mainan-mainan yang sekarang menggejala dikalangan anak-anak. Sebut saja kepanjangan tangan dari itu seperti maraknya film-film kartun Jepang yang mendominasi Indonesia: Bayblade dengan menghasilkan mainan gasingnya, Lets and Go dengan mobil mainan Tamiyanya, Crush Gear dengan mobil tarungnya ataupun sejenis mainan lainnya seperti boneka Pooh dari hasil film Winne and Pooh yang dahulu berhasil mendobrak market mainan dunia dengan mudahnya. Semua itu bisa disebut sebagai mediasi sosialisasi produk dengan menggunakan media kartun sebagai ‘nabi’nya.
Perkembangan Komik, Karikatur, Kartun di Indonesia
Sekedar mengantarkan sebuah peta ke hadapan pembaca, penulis melihat bahwa sebenarnya ‘bisnis’ gambar seperti yang diwadahi dalam tiga media di atas untuk di Indonesia sebenarnya tidak atau belum mengalami perkembangan yang cukup serius.
Dimulai dari Komik, sebenarnya tahun 60-an perkomikan di Indonesia pertamanya cukup menjanjkan. Ini terbukti dari hasil yang dibuat oleh komikus Indonesia, seperti oleh Ganes TH dengan “Si Buta dari Gua Hantunya”, Indri Sudono dangan “Petruk dan garengnya”, Jan Mintaraga dengan komik “percintaannya”, RA Kosasih dengan “Mahabrata dan Bharatayudhanya”, Wid NS dengan “Godam dan karakter wajah Indonesianya”, Djair dengan “Kutukan Sangkuriangnya” N.Mintardjar dengan “Naga Sastra dan Sabuk Intennya”, Herman Phatirto dengan “Bende Mataram” dll. merupakan sejumlah komikus perintis Indonesia yang patut dibangggakan hasilnya.
Isi ataupun kualitas cerita dan penyajian dari beberapa komik di atas tidak lah kalah dengan perkomikan dari luar saat ini. Namun karena perkembangan media sekarang ini, baik dari segi penyajian yang menggukan alat komputer, perkomikan Indonesia akhirnya tidak bisa menyaingi derasnya perkembangan zaman. Paling yang sekarang masih bertahan hanya beberapa perkomikan saja di Indonesia. Sebut saja “Legenda Sawung Kampret dan Panji Komeng” yang digawean oleh Dwi Koen, merupakan salah satu komik berkualitas terakhir–bisa dibilang begitu–di Indonesia saat ini. Komik tersebut menurut penulis tergolong serius apabila dibandingkan dengan komik lain (baca komik santai). Majalah Kumkom sebagai sarana sekaligus media komikus dalam negeri yang turut berkiprah menampilkan hasil karyanya merupakan salah satu media terbatas bagi karya-karya komik yang tidak mendapat ruang serius. Dengan munculnya berbagai media komik tersebut diharapkan bisa mewakili terus terpaan angin komikus dalam negri dari luar seperti Jepang.
Berbeda lagi dengan dunia Karikatur, perkembanganya di Indonesia bisa disebut bertimbal balik dengan situasi Komik saat ini. Walaupun kehadiran dunia Karikatur tidak begitu muncul dalam popularitas suatu roduk karya astra, namun dilihat dari segi kuantitas dan kualitas peminat dari Karikatur terutama di setiap Koran sangatlah besar.
G.M. Sudarta sebagai kartunis sekaligus karikaturis di suratkabar Kompas dengan “Oom Pasikomnya” merupakan salah seorang yang sampai sekarang ini masih kuat dengan gambar yang sarat oleh pesan, kritik, estetika dan kadar humornya. Dengan karakter tersebut Sudarta lebih familiar menyebut karikatur dengan sebuah doformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” melalui penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek (Prisma, No.5, 1981: 49-53).
Namun sebagai sebuah karikatur, dalam pandangan Sudarta tidak selalu harus hadir dalam bentuk pesan atau kritik, apalagi dalam rangka yang berlebihan. Kalaupun ada, ia menamakannya dengan katagori editorial cartoon yang biasa disebutnya tajuk rencana dalam versi gambar humor. Ini bisa terlihat, menurutnya di tahun 1960-an karikatur T.Sutanto yang terbit di mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung dan di zaman Orba seperti hasil kartunis-kartunis besar (Sanento, Pramono, Priyanto, Tony Tantra, thomas Leonar, Dwi Koendoro, Yuliman, Mariadi S, Keulman, dll.) pernah juga menjadi sorotan: sebagai salah satu kritikan tajam dengan “membunuh” ’ala senyuman. Jangan dikira perbuatan tersebut tidak menyebabkan hal apa-apa bagi sipembuat karikatur. Tidak lama kita telah dikejutkan dengan penangkapan seorang Pemred Harian Rakyat Merdeka, hanya akibat membuat sebuah karikatur telanjangnya seorang pejabat (Akbar Tanjung) yang dipandang hal tersebut mencemarkan nama baik seseorang.
Oleh sebab itu, seringkali Sudarta memandang bahwa dalam pembuatan karikatur tersebut sang karikaturis jangan terlalu berlebihan yang akhirnya kurang kena sasaran. Sehingga dalam tampilannya bisa mmbuat orang, khususnya yang dikritik dalam gambar merasa terhina ataupun menaruh curiga yang berlebihan.
Etika (baca:kode etik) dalam melakukan kritikan, menurutnya diperlukan pada saat itu agar misi yang dilontarkan sampai dengan selamat dan sejahtra.
Seperti apa yang dalam perkembangannya, karikatur tersebut diperbaharui dengan gaya yang lebih bervariasi. “Doyok” contohnya tokoh yang dipakai Keliek Siswoyo, merupakan salah satu bentuk karikatur berjenis komik singkat (dalam satu strip atau panel) yang memiliki ciri khas tersendiri dibanding karikatur produk lama. Doyok ini hadir di harian Pos Kota, dalam kolom khusus “Lembergar” (Lembaran bergambar Untuk Keluarga) yang meraih ratingnya mencapai tiras tertinggi mencapai 74,9 persen pembaca (Bentara, Kompas 1/11/2002).
Bayangkan, dari sebagian banyak lembaran yang ada di Pos Kota, sebagai harian surat kabar yang bisa mencapai 500.000-600.000 eksemplar pembaca tiap harinya, sebagian besar tertuju pada kolom karikatur buatan Siswoyo ini.
Berbeda dengan Oom Pasikomnya G.M Sudarta, Karikatur Doyok buatan Siswoyo lebih bersipat dialogis yang mengambil setting kebudayaan masyarakat kampung. Dengan gayanya yang khas itu, dia melihat persepsi masyarakat bawah tentang berbagai problema, termasuk masalah politik di Indonesia ini. Dengan begitu ia bisa menetralisir apa yang diharapkan Sudarta dengan kritikan yang tepat guna.
Berbeda lagi dengan komik ataupun karikatur seperti yang dijelakan di atas, Kartun adalah persoalan baru bagi perindustrian film animasi di Indonesia. Perkembangan dunia teknologi informasi, membuat produksi Kartun di Indonesia ‘lesu’ total dibanding dengan negara lain, Jepang contohnya. Berjamurannya film kartun ‘asing’ di Indonesia bisa dilihat di TV-TV ataupun dalam bentuk VCD. Penayangannya pun memiliki jadwal tetap (seperti minggu sebagai hari libur keluarga). Sebut saja film Slam Dunk, Lats and Go, Doraemon, Sinchan, Dragon Ball, Inuyasa, Bayblade, Ditektif Conan, dll. merupakan sejumlah kartun Jepan yang mendominasi film animasi di Indonesia di berbagai stasion telivisi. Ini bisa dimengerti karena dengan keterbatasan keterampilan kartunis Indonesia masih pada relatif sederhana.
Ini bisa terlihat bahwa baru pada tahap tema-tema film kartun Indonesia yang baru bisa muncul, seperti dalam cerita-cerita rakyat ataupun legenda masyarakat Indonesia: Sangkuriang, Ketimun Mas, dll. Itu pun belum di dalam pembuatanya masih tetap memerlukan kepandaian edting pihak asing.
Kartun-kartun itu biasanya diangkat dari sketsa Karikatur ataupun Komik yang ditindaklanjuti pada bentuk animasi. Apalagi untuk sekarang, sesuai dengan perkembangan dunia komputerisasi, bentuk animasi kartun semakin komplek yaitu berupa tiga demensi: bentuk khayalan (dari hasil coretan) sekaligus terlihat nyata yang bisa tergabung dalam ruang dimensi manusia.
Tentu saja perkembangan teknologi itu sulit dijangkau pembiayaannya, selain mengadakan kerjasama dalam pembuatannya. Contohnya film animasi buatan Indonesia yang baru dirilis “Janus: Prajurit Terakhir”. Terinspirasi seperti dari film sejenisnya: Toy Story dan Bag’s Life, film Janus yang disutradarai oleh Chandra Endroputro ini diharapkan bisa menembus dunia kartun, hal ini dalam bentuk animasi di Indonesia. Dengan begitu tuntutan akan ide-ide pembuatan Kartun bisa terus dilakukan, walaupun dalam pembuatanya masih membutuhkan tangan-tangan luar.

1 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More